lestarikan budaya Nasional

lestarikan budaya Nasional
pendidikan jalan merintis hidup bahagia

Jumat, 20 Mei 2011

INFLASI INDONESIA TAHUN 2001


Mei 2001 Inflasi Mencapai 1,13 persen         
01 Juni 2001
TEMPO Interaktif, Jakarta:Inflasi terjadi hampir di seluruh kota di Indonesia. 42 dari 43 kota di Indonesia pada bulan Mei 2001 mengalami inflasi. Dengan inflasi tertinggi terjadi di Palu sebesar 6,36 persen dan terendah di Pontianak sebesar 0,18 persen. Secara keseluruhan inflasi bulan Mei 2001 sebesar 1,13 persen. Sedangkan deflasi hanya terjadi di Jayapura yaitu sebesar –0,05 persen. “Laju inflasi tahun kalender (Januari-Mei) 2001 sebesar 3,73 persen, sedangkan inflasi year on year (Mei2001 terhadap Mei 2000) sebesar 10.82 persen,” kata Kepala Badan Pusat Statistik, Soedarti Surbakti dalam pengumuman resminya di Gedung Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta, Jum’at (01/06) siang.
Inflasi, kata Soedarti, terjadi karena adanya kenaikan harga barang dan jasa. Harga kelompok bahan makanan naik sebesar 1,5 persen. Rinciannya, harga kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 0,99 persen. Harga kelompok perumahan naik 0,81 persen; harga kelompok sandang 1,97 persen; harga kelompok kesehatan 1,04 persen; harga kelompok pendidikan, rekreasi dan olah raga 0,24 persen dan harga kelompok transport dan komunikasi 0,69 persen.
Pada kelompok bahan makanan pada bulan Mei 2001 ini terjadi kenaikan indeks dari 262,89 pada bulan April 2001 menjadi 266,84. Pada kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau kenaikan indeks terjadi dari 252,77 pada April 2001 jadi 255,28 pada bulan Mei. Kelompok perumahan mengalami kenaikan indeks dari 190,09 pada bulan April 2001 menjadi 191,63. Pada kelompok sandang terjadi kenaikan dari 264,85 pada bulan April 2001 menjadi 270,08. Kelompok kesehatan pada bulan Mei 2001 mengalami kenaikan indeks dari 252,17 menjadi 254,79. Indeks untuk kelompok pendidikan, rekreasi dan olah raga mengalami kenaikan 203,41 pada bulan April menjadi 203,89. Sedangkan dari kelompok transport dan komunikasi indeks pada bulan April sebesar 196,06 dan indeks pada bulan Mei 2001 sebesar 197,42. (Zacharias Wuragil)
RAPBN 2001 Masih Rawan Inflasi
Liputan6.com, Jakarta: Pemerintah mengaku optimistis dengan prospek pemulihan ekonomi Indonesia di tahun 2001. Menteri Keuangan Prijadi Praptosuhardjo, Senin (23/10) pagi tadi menyampaikan jawaban atas pemandangan umum DPR tentang nota keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2001. Dalam jawabannya, Prijadi menetapkan asumsi nilai tukar rupiah adalah Rp 7.300 per dolar Amerika Serikat. Sementara inflasi yang semula berkisar enam sampai delapan persen, kini ditetapkan menjadi tujuh persen.

Sementara itu pengamat ekonomi Dr Syahrir dalam wawancaranya dengan SCTV mengatakan, asumsi RAPBN 2001 dipenuhi dengan tingkat prediksi yang meragukan.
Misalnya, asumsi harga minyak dan gas yang sangat timpang dengan harga saat ini. Begitu pula dengan penetapan kurs nilai rupiah. Menurut dia, persoalannya bukan pada ketimpangan tersebut, melainkan cara pencapaian asumsi tersebut.

Syahrir mengingatkan, mestinya disadari bahwa RAPBN 2001 mengalami defisit. Karena itu, pemerintah mesti mengatasi hal itu dengan aset privatisasi Badan Usaha Milik Negara dan bahan bakar minyak. Jika tidak, Indonesia akan mengalami inflasi. Sebab, selain persoalan defisit tadi, masih ada tekanan makroekonomi yang juga sangat tinggi.(HFS/Tim Liputan 6 SCTV)


IHK Bulanan dan Inflasi Indonesia, 2000 - 2004
Months
2000*)
2001*)
2002*)
2003*)
2004**)
CPI
Inflations
CPI
Inflations
CPI
Inflations
CPI
Inflations
CPI
Inflations
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
January
205.12
1.32
222.10
0.33
254.12
1.99
276.33
0.80
110.45
0.57
February
205.27
0.07
224.04
0.87
257.93
1.50
276.87
0.20
110.43
-0.02
March
204.34
-0.45
226.04
0.89
257.87
-0.02
276.23
-0.23
110.83
0.36
April
205.48
0.56
227.07
0.46
257.26
-0.24
276.65
0.15
111.91
0.97
May
207.21
0.84
229.63
1.13
259.31
0.80
277.23
0.21
112.90
0.88
June
208.24
0.50
233.46
1.67
260.25
0.36
277.49
0.09
113,44
0,48
July
210.91
1.28
238.42
2.12
262.32
0.82
277.58
0.03
113,88
0,39
August
211.99
0.51
237.92
-0.21
263.13
0.29
279.92
0.84
113,98
0,09
September
211.87
-0.06
239.44
0.64
264.53
0.53
280.93
0.36
114,00
0,02
October
214.33
1.16
241.06
0.68
265.95
0.54
282.48
0.55
114,64
0,56
November
217.15
1.32
245.18
1.71
270.87
1.85
285.32
1.01


December
221.37
1.94
249.15
1.62
274.13
1.20
287.99
0.94


CPI & Inflation Rate
210.27
9.35
234.46
12.55
262.31
10.03
279.59
5.06




>Senin, 3 September 2001

Setelah LoI, Agenda Berikutnya Melobi Jepang
ANALISIS EKONOMI A TONY PRASETIANTONO


DUA berita yang bertolak belakang muncul akhir pekan lalu. Berita yang baik, selama bulan Agustus telah terjadi deflasi (inflasi negatif) sebesar minus 0,21 persen, sedangkan berita jeleknya, rupiah kembali terkoreksi ke level Rp 8.900 per dollar AS, dan bahkan sempat menyentuh Rp 9.165 per dollar (29/8).
Peristiwa deflasi, meski hanya 0,21 persen, tetap mengesankan, karena indikator ini bisa diklaim sebagai hasil karya pertama dari pemerintahan baru Megawati Soekarnoputri. Saya sependapat dengan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa deflasi ini terutama disebabkan oleh faktor penguatan rupiah.(Kompas, 1/9/2001)
Dalam perundingan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dalam rangka letter of intent (LoI), inflasi menjadi salah satu topik terpenting yang tampaknya agak alot diperundingkan. Sedemikian pentingnya hal ini, sehingga sempat terjadi "tawar-menawar" mengenai berapa level uang primer (base money) yang paling cocok ditetapkan, untuk menjamin terkendalinya inflasi.
Di satu pihak, IMF meminta likuiditas diperketat, dengan jumlah uang primer Rp 108 trilyun. Di pihak lain, Bank Indonesia (BI) berpendapat bahwa target uang primer janganlah terlalu ketat, sebaiknya di atas Rp 110 trilyun. Akhirnya dicapai kompromi pada level Rp 110,5 trilyun.
Sayangnya, target ini belum diikuti dengan kebijakan suku bunga rendah. Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) masih terus naik menjadi 17,67 persen. Kalau ini dibiarkan terus, bank-bank akan enggan mengalirkan kredit kepada dunia usaha. Tanpa harus bekerja keras dan menanggung risiko kredit macet, bank-bank jelas lebih senang menaruh dananya dalam bentuk SBI.
Kenaikan suku bunga SBI juga membawa dampak negatif lain. Setiap persen kenaikan bunga akan menambah beban APBN 2001 sebesar satu persen x Rp 630 trilyun (nilai seluruh program rekapitalisasi perbankan yang ditanggung pemerintah) = Rp 6,3 trilyun setahun. Jumlah ini setara dengan setoran yang sekarang sedang sangat sulit dipenuhi dari privatisasi BUMN.
Berdasarkan kalkulasi ini, suku bunga SBI seharusnya diusahakan segera diturunkan. Memang, penurunan suku bunga akan selalu berisiko mendorong inflasi. Namun, dengan modal deflasi bulan Agustus dan inflasi tahun kalender 2001 (Januari-Agustus) 7,48 persen, seharusnya bisa menambah keberanian BI untuk memulai "operasi" penurunan suku bunganya.
Jadi, daripada ngotot mempertahankan suku bunga tinggi seperti sekarang untuk menekan inflasi, lebih baik BI berkonsentrasi untuk memperkuat rupiah, yang terbukti dapat memberi andil besar terjadinya deflasi. Memang, secara teoretis, suku bunga tinggi akan menaikkan kurs rupiah. Tapi, itu teori.
Bukti empiris di Indonesia sudah terbukti berbeda. Fluktuasi rupiah sering mengabaikan suku bunga. Meski suku bunga rendah, kalau sentimen sedang bagus, rupiah akan menguat. Sebaliknya, ketika suku bunga tinggi, bahkan setinggi 60 persen seperti pengalaman tahun 1998, kalau sentimen sedang jelek, rupiah tetap saja jeblok.
Apakah sederet data dan fakta ini belum cukup meyakinkan pemerintah dan IMF? Mana yang mau dipegang, teoretis-normatif ataukah fakta-empiris? Saya sama sekali tidak antiteori. Namun, jangan lupa, sebagus apa pun sebuah teori, ia memerlukan dukungan banyak asumsi secara ketat agar dapat diimplementasikan.
Mengapa suku bunga tinggi tidak selalu berdampak positif terhadap kurs rupiah? Karena ada satu asumsi penting yang dilanggar yakni suku bunga tinggi tersebut tidak didukung ting-kat kepercayaan yang memadai.
Lalu, mengapa kini rupiah seperti tertahan laju penguatannya? Apakah kurs rupiah tidak bisa meluncur ke level Rp 8.000 per dollar, seperti harapan banyak orang di awal pembentukan pemerintahan baru ini? Rupiah terkoreksi, saya duga karena perundingan dengan IMF berjalan alot, bertele-tele.
Selain itu, pasar juga sangat pintar dan kritis dalam membaca situasi. Meski LoI sudah ditandatangani, pasar amat menyadari bahwa untuk merealisasikan butir-butir kesepakatan itu, sangat tidak mudah. Yang paling gampang dilihat adalah soal target divestasi di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan privatisasi BUMN. Dalam waktu yang tinggal empat bulan, Kantor Menteri Negara BUMN pimpinan Laksamana Sukardi harus menyetor Rp 19 trilyun.
Bagaimana bisa optimistis? Belum lagi jika penjualan aset-aset itu dilakukan dengan tergopoh-gopoh, "tabrak sana, tabrak sini", tanpa peduli soal harga dan kualitas mitra strategis (strategic partner). Kondisi obyektif yang berat inilah yang menyebabkan eforia pasar tertahan.
***
KINI, yang diperlukan adalah mencari sentimen positif lain. Dari dalam negeri, jelas kita berharap situasi keamanan terkendali, agar investasi domestik dan asing bergerak, dan dana pelarian modal pulang kembali dari luar negeri.
Namun, kita semua tahu, hal ini tidaklah mudah dan perlu waktu yang agak panjang untuk mewujudkannya. Karena itu, harapan yang lebih realistis kita harapkan dari faktor luar negeri.
Setidaknya ada tiga peristiwa penting di depan mata. Pertama, pencairan dana IMF pada minggu kedua September. Kedua, pertemuan Paris Club membahas utang luar negeri pemerintah, bulan September ini juga. Ketiga, pertemuan CGI (Consultative Group on Indonesia) yang akan membahas utang baru dalam APBN 2002, yang akan diselenggarakan bulan November.
Karena sudah menjadi acara rutin, dan jumlah dananya pun "hanya" 400 juta dollar AS, saya agak skeptis pencairan dana IMF akan mendongkrak rupiah secara signifikan. Momentum yang bisa kita harapkan dalam waktu dekat adalah pertemuan Paris Club. Yang harus dilakukan dalam forum ini adalah kembali menjajaki seluruh kemungkinan skema untuk melonggarkan impitan utang dalam APBN.
Pihak yang paling berkompeten untuk tujuan ini adalah Jepang, sebagai kreditor terbesar kita selama ini dalam skema CGI.Senior saya di Bulaksumur, Soetatwo Hadiwigeno, berkali-kali mengingatkan bahwa kita amat memerlukan lobi Jepang yang kuat, yang belum tercermin atau kurang terwakili dalam kabinet baru.
Beliau benar. Karena itu saya menduga, duet Dorodjatun-Boediono masih akan mengandalkan seniornya, Widjojo Nitisastro, untuk melobi Jepang. Selama ini, Widjojo telah berhasil meyakinkan Jepang, untuk selalu memberikan komitmen utang, bahkan dalam jumlah yang setiap tahun meningkat. Widjojo juga berhasil meminta penundaan pembayaran (rescheduling).
Namun, tugas tim ekonomi kali ini lebih berat. Bisakah Widjojo meyakinkan Jepang bahwa kita layak mendapatkan keringanan yang lebih besar, yakni pemotongan sebagian utang (hair cut)? Meskipun demikian, tentunya juga tidaklah arif jika kita terus-menerus mengandalkan Widjojo untuk melobi Jepang. Harus ada pelobi lain yang lebih muda, yang kuat diajak berunding berhari-hari.
Saya kira figur seperti Iwan Jaya Aziz dan Pradjoto layak direkrut untuk kepentingan ini. Iwan diketahui sangat dekat dengan keluarga Kaisar Jepang, sedangkan Pradjoto berlatar belakang pendidikan Universitas Kyoto, salah satu universitas terbaik di Jepang selain Universitas Tokyo. Keduanya juga memiliki artikulasi yang baik, suatu modal yang amat diperlukan dalam melobi.
***
PELOBI Indonesia harus meyakinkan Jepang, setidaknya menyangkut dua aspek. Pertama, APBN kita sudah memasuki stadium sekarat (dying). Indikasinya, 50 persen sisi pengeluaran dialokasikan untuk membayar utang luar negeri dan utang domestik (bunga obligasi rekapitalisasi perbankan). Posisi ini menempatkan Indonesia sebagai negara yang sesungguhnya secara teknis sudah bangkrut.
Jika Jepang beranggapan kita bukan negara miskin, karena masih mempunyai kekayaan alam, kita bisa berargumentasi bahwa LoI dengan IMF telah mengatur bahwa kita tidak diizinkan melakukan sekuritisasi sumber daya alam tersebut (dilarang melakukan forward sale).
Kedua, utang pemerintah yang selama ini kita peroleh, sebagian besar berupa utang proyek (project loan). Ciri utama utang jenis ini adalah penggunaannya tidak fleksibel. Utang proyek yang berasal dari Jepang mensyaratkan pembelian barang dan jasa (misalnya konsultan) dari Jepang, yang harganya lebih mahal.
Apakah cukup fair, utang yang kita terima dalam bentuk barang dan jasa ini harus dikembalikan dalam bentuk valuta asing (dollar AS dan yen), sekalipun kita mendapatkan kemudahan suku bunga rendah dan masa bebas mengangsur? Bukankah pembelanjaan ke pasar Jepang ini telah menciptakan multiplier effect, yang otomatis telah membantu mendorong perekonomian mereka sendiri? Kinilah saatnya multiplier itu dipindah ke Indonesia.
Kedua argumentasi tersebut merupakan alternatif dari wacana yang selama ini selalu ditolak Jepang, yakni soal dikorupsinya utang luar negeri sampai 30 persen. Jika Jepang masih menolak skema hair cut, kita ajukan tiga skenario lain.
Pertama, Jepang seyogianya menambah porsi hibah (grant) dalam jumlah yang signifikan. Belakangan ini, itikad untuk memberi hibah memang sudah ada, namun masih diragukan signifikansi jumlahnya.
Kedua, Jepang dan kreditor lain agar mau menghapus sama sekali bunga utang kita yang sebenarnya sudah lunak (soft loan) itu. Bunga utang lunak ini berkisar 2,5 persen setahun.
Ketiga, Jepang agar sebanyak mungkin memberi porsi utang program (program loan), atau utang-utang yang penggunaannya lebih fleksibel, agar diperoleh efisiensi yang optimal dalam pembelanjaan barang dan jasa, dibandingkan keharusan membelanjakan ke pasar domestik Jepang.
Kita menyadari, lobi Jepang ini bakal sulit dan berat, namun mutlak harus diupayakan, karena kita sudah benar-benar kepepet alias no way out. Hanya dengan cara itulah kita meraih lagi momentum terbaik dalam waktu dekat ini, untuk melanjutkan mood penguatan rupiah. Selamat melobi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar