lestarikan budaya Nasional

lestarikan budaya Nasional
pendidikan jalan merintis hidup bahagia

Kamis, 02 Juni 2011

Bima berjumpa dengan Dewa Ruci


Bima berjumpa dengan Dewa Ruci
Sejak kecil saya suka nonton pertunjukan tradisional , seperti pagelaran wayang kulit, wayang orang, kethoprak, kuda kepang dan lain-lain, selain itu saya juga suka membaca cergam cerita pewayangan,atau persilatan. Namun tontonan yang paling saya sukai adalah nonton pagelaran wayang kulit,pada siang atau malam hari dari sejak talu ( awal ) sampai tancep kayon ( akhir ) cerita, itandai dengan tarian golek kayu yang dimainkan oleh Ki dalang .Rasanya kecewa kalau tidak nonton sampai selesai, sepertinya ada sesuatu yang hilang, sehingga walaupun mengantuk tetap bertahan, pagelaran wayang ini merupakan tontonan yang gratis bagi masyarakat,namun hanya dapat disaksikan pada saat orang punya hajat pernikahan atau sunatan dalam pagelaran wayang Unsur yang paling penting dalam pagelaran wayang adalah pesan moral atau filosofi, etika yang disampaikan oleh Kidalang dalam suatu lakon ( cerita )   , Pada tulisan ini akan menampilkan tokoh pewayangan yaitu tokoh Bima dengan Dewa Ruci cerita tokoh Bima mencari air perwitosari ( air kehidupan )dan lain-lain.  Bima  adalah 5 bersaudara satria Pandawa yaitu: Puntadewa atau Yudistira, Arjuna,Nakula dan Sadewa adalah para satria , Bima mempunyai kuku pada ibu jari tangannya yang sangat tajam, namanya Kuku Pancanaka. Pancanaka ini bukan sembarang kuku. Kuku ini tanjamnya tak terhingga. Ada cerita kalau tanjamnya Pancanaka setara dengan 7 pisau cukur baru.
Dari seluruh Pandawa, Bima yang paling dibenci oleh Kurawa. Bima memiliki tubuh yang paling kuat di antar Pandawa dan Kurawa. Dia mampu mengalahkan Duryodhana dan Kurawa lainnya. Waktu perang tanding antara Bima dan Kurawa, pihak Kurawa selalu kalah dan dihajar habis-habisan. Duryodhana, yang tertua dari Kurawa sangat membenci Bima dan selalu mencari cara untuk membinasakan Bima. Kebencian ini semakin bertambah karena ketakutan akan lepasnya tahta dari tangannya.
Rencana Pembunuhan
Duryodhana pernah merencanakan untuk membunuh Bima dengan menenggelamkan ke dalam Sungai Gangga. Waktu itu Bima dan beberapa Kurawa berenang di Sungai Gangga, setelah selesai berenang mereka bersantap. Tidak tahunya makanan Bima telah diracuni oleh Kurawa. Letih dan ditambah keracunan makanan membuat Bima terbaring lemas tidak berdaya. Melihat hal itu Duryodhana, sepupu Bima segera mengikat sepupunya itu dengan ranting-ranting pohon berduri dan menutupi tubuhnya dengan daun-daun gatal. Kemudian mereka melemparkan Bima ke papan lebar yang dipasangi paku-paku tajam beracun. Mereka memperkirakan, jika Bima jatuh di atas papan itu, ia pasti akan binasa tertusuk paku-paku beracun itu.
Tetapi Bima tidak jatuh di atas papan itu. Dia jatuh ke dalam Sungai Gangga. Segera oleh ular-ular penghuni Sungai Gangga yang sangat berbisa mematuki tubuh Bima. Belum jauh dihanyutkan, Bima dihempaskan oleh pusaran air ke tepian seberang sungai. Dengan gembira, Duryodhana dan saudara-saudaranya yang mengira telah membinasakan Bima pulang ke istana. Namun Bima selalu dalam lindungan dewata, racun-racun ular bukan membunuh Bima malah membantu melawan racun makanan Duryodhana sehingga racun di tubuh Bima menjadi sirna. Tidak hanya sirna malah membuat Bima kebal akan segala racun.
Usaha pembunuhan Bima tidak sekali dilakukan. Duryodhana melakukan beberapa kali percobaan pembunuhan. Kali ini Duryodhana meminta bantuan dari Mahaguru Dorna, seorang resi mahasakti untuk membinasakan Bima. Karena Mahaguru Dorna lebih berat ke Kurawa, diluluskan permintaan Kurawa.
Mahaguru Dorna memanggil Bima menghadap dan memberi dia tugas untuk mencari tirtha prawidhi atau air suci kehidupan. Katanya, “Wahai, muridku Bima yang perkasa, pergilah engkau mencari tirtha prawidhi. Carilah sampai dapat. Jangan kembali jika belum berhasil. Ketahuilah, barang siapa memiliki tirtha prawidhi, dia akan dapat memahami hidup ini dan akan mampu mengenal asal, arah dan tujuan hidup manusia, yaitu sangkan paraning dumadi. Pergilah anakku. Jangan pernah ragu, karena orang yang ragu takkan pernah berhasil.”
Bima memang orang yang tidak pernah banyak pikir sebelum bertindak. Setelah minta izin dengan ibunya, Dewi Kunti, ia pun berangkat. Dalam pikiran Bima tidak terlintas rencana busuk yang dibuat oleh Kurawa untuk mencelakakan dirinya. Di perjalanan mencari tirtha prawidhi, Bima tidak perduli pada binatang buas, raksasa, setan atau jin yang mengganggunya dalam pengembaraan. Semua berhasil dikalahkan.
Pada suatu hari ketemulah Bima dengan dua raksasa sakti, Rukmukha dan Rukmakhala. Ia menantang kedua raksasa itu untuk berkelahi. Tantangan diterima. Ia menerjang kedua raksasa itu. Keduanya tewas seketika. Begitu terbanting ke tanah, kedua raksasa itu menjelma menjadi Batara Indra dan Batara Bayu, yaitu ayah Bima sendiri.
Batara Indra memberinya mantra Jalasengara dan Batara Bayu memberinya satu ikat pinggang sakti. Kedua hadiah itu akan menjadi bekal baginya untuk mengarungi samudera paling dalam di mana pun di dunia. Kemudian Batara Bayu memberinya petunjuk bahwa air hidup yang dimaksud terletak di dalam Telaga Gumuling, di tengah rimba Palasara. Di dalam rimba belantara itu Bima harus menghadapi seekor naga raksasa sebesar Gunung Semeru yang bernama Anantaboga.
Bima mengucapkan terima kasih, lalu pergi ke rimba Palasara. Sampai di tepi Telaga Gumuling, Bima disambut oleh naga raksasa Anantaboga yang langsung menyerangnya. Naga itu mengibas-ibaskan ekornya dan membelit badan kesatria Pandawa itu. Dengan Pancanaka, kuku ibu jarinya yang sakti, Bima menusuk leher Anantaboga dan memutus tali nyawanya. Anantaboga menggelepar-gelepar sebentar, lalu menggeletak mati, tak bergerak.
Ajaib. Mayat Anantaboga lenyap, menjelma menjadi Dewi Maheswari. Sesungguhnya Dewi Maheswari adalah bidadari yang di-kutuk-pastu oleh Sang Hyang Guru Pramesti. Ia terpaksa menjalani hukuman sebagai naga raksasa. Dari Dewi Maheswari, Bima mendapat petunjuk di mana ia bisa menemukan tirtha prawidhi, yaitu di dasar samudera raya.
Dengan mantra Jalasengara pemberian Batara Indra, Bima mengarungi Samudera Selatan yang penuh gelombang bergulung-gulung setinggi gunung. Di dalam samudera itu ia harus menghadapi naga besar Nawatnawa yang menyemburkan hujan berbisa. Tetapi, berkat apa yang dialaminya di Sungai Gangga, badannya menjadi kebal. Dan berkat ikat pinggang pemberian Batara Bayu, ia bisa mengambang di samudera raya. Dengan tangkas ia menaklukkan Nawatnawa, mencekiknya, dan menusuk lehernya dengan kuku Pancanaka. Seketika itu, matilah Nawatnawa. Tetapi, setelah tiga pertarungan berat itu, Bima menjadi sangat lelah. Ia membiarkan dirinya diombang-ambingkan gelombang raksasa dan dihempaskan ke sebuah karang emas. Seorang diri, tanpa pertolongan siapa pun.
Dewa Rutji
batara-ruci1Ketika itulah muncul Dewa Ruci yang sangat kasihan melihat Bima. Ia memancarkan sinar cemerlang yang menyebabkan Bima siuman. Alangkah kagetnya Bima melihat seorang manusia yang sangat kecil namun sangat mirip dengan dirinya. Manusia itu berkata, “Aku ini Dewa Ruci yang disebut juga Nawaruci. Aku datang untuk menolongmu Bimasena. Wahai kesatria perkasa, masuklah ke dalam telingaku. Di dalam diriku, engkau akan menemukan apa yang kaucari’.”
Bima heran sekali mendengar perintah manusia mungil itu. Bagaimana mungkin tubuhku yang sebesar ini bisa masuk merasuk ke dalam tubuhnya yang sekecil itu? pikirnya terheran-heran. Ketika Bima masih ragu-ragu, Dewa Ruci berkata, “Sesungguhnya, tempat ini adalah tempat yang kosong dan sunyi, tak ada apa-apa, tak ada busana atau pakaian, tak ada boga atau makanan. Semua serba sempurna. Ketahuilah, selama ini engkau hanya setia pada ucapan, mengabdi pada gema, yaitu bentuk segala kepalsuan.”
Uraian hakikat hidup yang gaib itu membuat Bima tercengang, tak kuasa berkata-kata.
Dewa Ruci melanjutkan, “Siapakah yang lebih besar, wahai Panduputra, engkau atau alam semesta yang ada di dalam tubuhku? Aku adalah jagad besar atau makrokosmos dan engkau adalah jagad kecil atau mikrokosmos yang ada di dalam aku.”
Bima yang semula ragu, apakah dia akan bisa masuk ke dalam lubang telinga Dewa Ruci, menjadi mantap setelah mendengar uraian ringkas itu. Tanpa ragu ia melaksanakan perintah manusia mungil itu. Begitu memasuki telinga Dewa Ruci, Bima merasa seakan-akan berada di alam kosong, berhadapan dengan suatu wujud berbentuk gading yang memancarkan sinar putih, merah, kuning, dan hitam perlambang jiwa manusia dengan sifat-sifat murninya. Sinar putih melambangkan kemurnian budi, sinar merah melambangkan watak berangasan dan lekas marah, sinar kuning melambangkan keinginan-keinginan manusiawi, dan sinar hitam melambangkan angkara murka dan keserakahan.
Kemudian Bima melihat tiga wujud seperti boneka dari emas, gading dan permata. Ketiganya melambangkan tiga dunia. Masing-masing disebut Inyanaloka atau lambang badan jasmani, Guruloka atau lambang alam kesadaran, dan Indraloka atau lambang dunia rohani. Demikianlah, di dalam tubuh Dewa Ruci, Bima mendengarkan penjelasan panjang lebar tentang hakikat manusia dengan segala nafsunya dan hakikat alam semesta yang terbagi menjadi tiga tataran.
Kemudian, tanpa disadarinya, Dewa Ruci yang gaib dan agung itu lenyap dari mata batinnya. Bima tersadar. Tahulah Bima bahwa dia telah menemukan apa yang harus dicarinya, vaitu tirtha prawidhi, air suci atau air kehidupan, perlambang hakikat dirinya dan hakikat alam semesta.
Bima seorang yang tidak pernah menggunkana bahasa halus pada siapapun bahkan dengan dewa sekalipun tutur bahasanya tetap kasar. Hanya pernah sekali Bima bertutur bahasa halus yaitu ketika berbicara dengan Dewa Ruci. Dewa Ruci berarti juga dewa yang halus. Dewa Ruci ialah halusnya Bima.
Bima beristri Dewi Nagagini dan Dewi Arimbi. Anantasena anak tertua Bima dari Dewi Nagagini dan Gatotkaca anak dari Dewi Arimbi.
Raden Bratasena
Raden Bratasena seorang Pandawa jang kedua, putera Prabu Pandu. Bratasena bernama djuga Bima dan Bajusuta, sebagai putera angkat Betara Baju, dll. Setelah dewasa ia bernama Wrekodara, bertachta di Djodipati, sebagai kesateria besar, jalah kesateria sebagai radja.
Bratasena seorang jang tak pernah memakai bahasa halus pada siapa pun djuga, maupun kepada Dewa, dipergunakan bahasa kasar. Selama hidupnja hanja sekali, ia berbahasa halus (Dj. krama) jakni ketika ia bertemu dengan Dewa Rutji. seorang Dewa kerdil, jang dianggap Dewanja jang sedjati. Tetapi kekasaran bahasanja itu penuh dengan kebidjaksanaan. Ia tak pernah dusta. Sebab kesutjian djiwanja, Bratasena senantiasa mendapat kebenaran.
Raden Bratasena bermata telengan (membelalak), hidung dempak, berkumis dan berdjanggut, dengan berpupuk didahi, rambut terurai bentuk palos (bersahadja), dihias dengan garuda membelakang dan sunting waderan, berkalung bulan sabit, bergelang bentuk Tjandrakirana, berpontoh dan berkerontjong. Berkuku Pantjanaka, jalah kuku sakti lebih dari sendjata jang sakti. Bertjelana pendek (katok).
Segala pakaian Bratasena sebagai lambang jang mengenai pada diri dan ketetapan hatinja. Ia beroman muka merengut (Dj. ndjenggureng), akan tanda bahwa ia berani pada kebenaran. Ketetapan hati Bratasena laksana gununa, tak berubah ditempuh angin.
Kata dalang bagi badan dan pakaian Bratasena sebagai lambang ; Alkisah, akan djalan kesateria di Tunggulpamenang (Bratasena), setekali ia berdiri tegak, keluarlah angin kesaktiannja. Raden Bratasena diwaktu berdjalan selalu lurus tak pernah membelok. Ia berhias : rambut terurai, berkantjing sanggul garuda membelakang dengan terlaias. Hal ini untuk lambang, bahwa Bratasena tak samar kepada Dewa dan kedjidwaannja sendiri. Pupuk didagu, memperingatkan akan tjahaja jang tampak dalam rahim Hjang dewa Rutji (Dewa Bratasena). Sunting mas tergubah bentuk serat buah asam, akan lambang bahwa kepandaian Bratasena disamarkan, tampak sebagai orang jang dungu.
Sunting mana tertutup dengan hiasan berbentuk bunga pandan berwarna putih, bermaksud: dimana berbau harum dibagian luar, didalampun wangi djuga. Berpontoh bentuk buah manggis digubah kelian tempatnja, berarti bahwa ia semasa datang pada azalnja akan sempurna dengan segala-galanja, tak ada jang akan ketinggalan. Gelang tjandrakirana, tjandra : bulan, kirana : tulisan, bermaksud bahwa kesateria Tungulpamenang berpengetahuan tak dengan tulisan, akan terasa terang benderang tak samar-samar. Berkalung nagabanda (naga pengikat), berarti naga itu radja ular, banda : tali untuk mengikat badan, akan lambang, bahwa Raden Bratasena didalam perang, berkekuatan seimbang dengan kemurkaan naga, dan tak akan meninggalkan gelanggang, tak ada perkataan : kalah, kekalahan Bratasena : mati. Bertjawat kain poleng bang bintulu (kain berkotak-kotak empat segi lima warna). Kain ini untuk memperingat pada amarah jang lima perkara. Berikat pinggang kain tjindai berumbai terlentang diatas paha kanan dan kiri, akan lambang, bahwa Raden Bratasena mengetahui segala hal diantara kiri dan kanannja. Porong (Jyarang perhiasan) terletak diatas paha, berarti bahwa ia dapat menjimpan segala-galanja didalam sanubari. Kerontjong nagaradja membelit kaki, untuk peringatan bahwa ia dapat bertemu dengan Dewa Rutji, setelah ia terlepas dari belitan naga. Berkuku pantjanaka sepandjang lawi-lawi ditangan kanan dan kiri: Raden Bratasena sebagai lambang kekuatan dari antara kelima saudaranja, dan dapat membuka segala pengetahuan.
Tersebutlah datang angin ribut makin besar, dimasa itu Raden Bratasena mengutjapkan ilmu Wungkalbener dan Bandungbandawasa, pun adji Djalasengsara. Bratasena waktu berdjalau diiringkan dengan lirna baju (angin); jang kehidjau-hidjauan kepunjaan Begawan Maenaka ; angin jang kehitam-hitaman kepunjaan liman (gadjah) Satubanda; angin jang kekuning-kuningan kepunjaan Raden Bratasena sendiri; angin jang keputih-putihan kepunjaan Begawan Kapiwara (Anoman).
Waktu ilalang mengutjapkan ini wajang (Bratasena) sedang ditjatjakkan ditengal kelir, lalu dalang mendjalankan gunungan dilewatkan berulang-ulang, untuk ibarat bahwa Raden Bratasena mengeluarkan angin, dengan diiringi suluk (lagu) dalang jang dapat membangunkan rasa geram.
Topan itu bersuara menggeledek menempuli pohon2 kaju. Pohon2 kaju jang dalam akarnja: patah, mana jang tak dalam akarnja: tumbang.
Djalan Raden Bratasena lurus dan mengikuti apa kehendaknja. Lompat Raden Bratasena sedjauh penglihatan gadjah. Tjepat sebagai kilat.
Sehabis utjapan ini; dalang lalu mendjalankan wajang Bratasena berulang-ulang dikelir dengan diiring bunji gamelan. Djalan Bratasena diwudjudkan setjara melontjat, buat satu-satu lontjtan menurut lebar kelir jang untuk mentjatjakkan wajang dibagian tengah.
Sumber:
Sedjarah Wajang Purwa
Pak Hardjowirogo
P.N. Balai Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar